Jumat, 16 Desember 2011

Lambang Kedokteran

Gambar disamping pasti dah gak asing lagi bagi kita kan?! Ya, lambang itu adalah milik organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selain IDI, masih banyak organisasi lain yang juga menggunakan lambang yang hampir serupa terutama organisasi-organisasi kesehatan seperti IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dan PERDAMI (Perhimpunan Dokter Mata Indonesia). Jika dilihat lebih teliti kita bisa menemukan adanya kemiripan dari lambang-lambang tersebut, yaitu gambar ular yang melilit tongkat. Sepintas gambar tersebut terlihat sederhana, namun tahukah kita bahwa ternyata ada makna yang istimewa dibalik gambar ular-tongkat tersebut? Dalam perkembangannya ada dua versi mengenai gambar ular-tongkat tersebut. Versi yang pertama adalah gambar di mana seekor ular yang melilit sebatang tongkat, yang disebut sebagai tongkat Asclepius (The Staff of Asclepius). Sedangkan versi kedua adalah dua ekor ular yang saling melilit dengan sebuah tongkat dan sepasang sayap di atasnya, yang disebut sebagai tongkat Hermes (The Karykeion of Hermes). 


1. The staff of Asclepius

Asclepius adalah seorang ilmuwan/dokter dari Yunani yang kemungkinan hidup pada tahun 1200 SM. Asclepius digelari sebagai God of Healing (Dewa Penyembuh) karena kemampuan yang dimilikinya dalam menyembuhkan orang sakit. Menurut mitologi, Asclepius adalah anak dari Apollo dan Coronis. Menurut cerita mitologi Yunani, ia memperoleh pendidikan kedokteran dari Cheiron (seorang centaur/manusia bertubuh kuda) dan dikaruniai kemampuan untuk menyembuhkan (healing) serta membangunkan orang mati. Ia memiliki tiga orang anak perempuan yaitu Meditrine (“medicine”), Hygeia (“hygiene”), dan Panacea (“all healing”). Bersama Asclepius, ketiganya sering dijadikan semacam pilar ilmu kedokteran.   


Dalam perjalanan karirnya, Asclepius mendirikan kuil yang disebut Asclepions(Asclepieia). Orang-orang sakit datang dan mendapat pengobatan di kuil tersebut. Mereka dilayani oleh para Asclepiadae (“murid-murid Asclepius”) serta menyerahkan persembahan kepada dewa atas kesembuhan yang mereka peroleh. Pada kuil tersebut juga terdapat banyak ular jinak yang dipelihara sebagai wujud penghormatan kepada Dewa.




 
Lalu, mengapa ular digunakan sebagai simbol? Ular adalah hewan yang memiliki kemampuan untuk berganti kulit setelah periode waktu tertentu, dan hal ini sering dikaitkan dengan “kehidupan/kesembuhan yang baru”. Bisa ular dapat berfungsi sebagai racun namun dapat juga berfungsi untuk mengobati, layaknya obat-obatan (farmako) pada saat ini juga dapat berfungsi untuk menyembuhkan penyakit namun dapat juga menjadi racun. Ular juga melambangkan sifat seorang dokter yang bekerja dengan kehidupan dan kematian. Nah, mengapa tongkat juga dipilih sebagai simbol? Ada beberapa pendapat yang dikemukakan. Tongkat merupakan simbol kemandirian seorang Asclepius dalam bekerja dan mengobati. Tongkat juga bisa berarti “penopang” pada saat seseorang sedang menderita penyakit. Namun demikian, secara bersamaan ular dan tongkat merupakan lambang profesionalisme dan kemandirian seorang dokter. 
2. The karykeion of Hermes/the caduceus of Mercury
Agak sedikit berbeda dengan Asclepius, tongkat Hermes (hermes adalah nama untuk mitologi Yunani, sedang di Romawi hermes dikenal dengan nama Mercury) dililit oleh dua ekor ular dan memiliki sepasang sayap di ujungnya (karykeion=caduceus=tongkat). Hermes sendiri merupakan tokoh dalam mitologi Mesir, namun namanya tidak secara spesifik dikaitkan dengan ilmu kedokteran. Ia sendiri lebih sering dikaitkan dengan ilmu kimia (alkemia), astronomi, metalurgi (ilmu logam) hingga sastra. Bahkan istilah alchemist (para ahli kimia) merujuk kepada “anak-anak Hermes”. Adapun tongkat dengan sepasang ularnya, konon berasal dari legenda ketika Hermes sedang berjalan dan ia melihat sepasang ular sedang berkelahi. Hermes pun mengambil tongkatnya dan memisahkan kedua ular itu, dari situlah muncul simbol tongkat dengan sepasang ular yang melilitnya. 

Lambang kedokteran versi Hermes pertama kali digunakan pada tahun 1902 oleh korps kesehatan militer AS. Sejak saat itu ada anggapan bahwa tongkat Hermes sama dengan tongkat Asclepius dan menjadi sering digunakan secara rancu sebagai lambang kesehatan. 
Belakangan kerancuan ini dikaji kembali dan diputuskan bahwa lambang kedokteran yang benar adalah tongkat-dan-ular Asclepius, bukan tongkat Hermes. Namun pada kenyataanya masih banyak organisasi kesehatan yang menggunakan tongkat Hermes sebagai simbolnya.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Friedlanders (1992) mengemukakan bahwa lembaga-lembaga kesehatan profesional lebih memilih menggunakan tongkat Asclepius sebagai lambangnya (62%), sedangkan lembaga-lembaga kesehatan komersial lebih memilih menggunakan tongkat Hermes sebagai lambangnya (76%).
Beberapa organisasi yang menggunakan tongkat Asclepius sebagai lambang antara lain Canadian Medical Association (CMA), World Health Organization (WHO), Medical Council of New Zealand dan NZMA. Adapun organisasi yang menggunakan tongkat Hermes sebagai lambangnya antara lain Medcorp dan IUPS. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tongkat Hermes adalah bagian dari Paganisme.
Sedangkan di Indonesia sendiri, berbagai organisasi kesehatan yang ada menggunakan tongkat Asclepius sebagai bagian dari lambangnya. Seperti yang terdapat pada lambang IDI, IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Pernefri (Nefrologi), PERDAMI, dan lain-lain

Sindrom Nefritik Akut-Pediatrik

I.                   PENDAHULUAN
Sindrom nefritik akut (SNA) merupakan penyakit yang terdiri dari gejala-gejala edema, hematuria, hipertensi dan oligouria yang terjadi secara mendadak dan akut[1]. Penyebab tersering sindrom nefritik akut di Indonesia adalah infeksi Streptokokus B Hemolitikus Grup A sehingga disebut pula Glomerulonefritis Akut Post Streptokokus (GNAPS). Glomeruloneritis sebenarnya merupakan istilah umum kelainan ginjal berupa proliferasi dan inflamasi glomeruli yang disebabkan sekunder oleh mekanisme imunologis terhadap antigen tertentu seperti bakteri, virus, parasit tertentu dan zat lain[1,2].
 
II.                EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini lebih sering terjadi di antara anak-anak antara usia 2 dan 12 tahun, meskipun 5% dari pasien lebih muda dari 2 tahun. Anak laki-laki lebih sering terpengaruh dengan GNAPS klinis yang jelas dibandingkan anak perempuan, dengan rasio 2:1[1,3].
Penelitian pada penderita SNA yang dirawat di Sub bagian Nefrologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS/Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung yang dilakukan  sejak tahun 1999 sampai dengan 2003, dari 82 anak SNA yang dirawat terdiri atas 48 (59%) anak laki-laki dan 34 (41%) anak perempuan. Sebanyak 39 (36%) penderita menunjukkan hematuria makroskopis dengan jumlah anak laki-laki dan perempuan masing-masing 14 (36%) dan 25 (64%)[2].  
III.     ETIOLOGI
Terjadinya SNA dipengaruhi oleh faktor-faktor host tertentu, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi, dan kecenderungan genetik. Glomeruloneritis proloferatif akut memiliki etiologi yang beraneka ragam dan tampilan morfologi yang mencerminkan sindrom nefrotik. Ini termasuk onset mendadak, hematuria gross atau mikroskopik, proteinuria bervariasi dari minimal untuk nefrotik, gips pada urinalisis, kelebihan cairan dengan hipertensi, dan tingkat variabel insufisiensi ginjal dengan oliguria atau anuria[3].
Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman Streptococcus beta haemolyticus golongan A, tipe 12,4,16,25,49. Hubungan antara GNA dan ineksi streptococcus ini dkemukakan dengan alasan bahwa (Lohlein, 1970):
1.      Timbulnya GNA setelah ineksi skarlatina
2.      Diisolasinya kuman Streptococcus beta haemolyticus golongan A
3.      Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita

Antara infeksi bakteri dan timbulnya GNA terdapat masa laten kurang lebih 10 hari. Dari tipe tersebut diatas, tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen dibanding yang lainnya, mengapa hal ini terjadi belum diketahui dengan pasti. Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan mum dan aktor alergi diduga dapat mempengaruhi terjadinya GNAPS. Adanya penyakit seperti siilis, penyakit amyloid, trombosis vena renalis, [purpura nailaktoid dan lupus eritematous serta keracunan (timah hitam, tridion) juga diduga dapat menyebabkan timbulnya GNAPS[4].
 Istilah proliferatif menyiratkan hypercellularity glomerulus, apa pun asal sel. Mereka mungkin menyerang glomeruli dari peredaran atau mungkin berasal dari glomerulus mesangial, endotel, atau sel epitel. Keterlibatan glomerulus dapat fokal atau difus, segmental atau global, sesuai dengan jumlah glomeruli dan luasnya cedera glomerulus[3].
IV.  PATOMEKANISME
            Glomeruloneritis akut post streptococcus  adalah penyakit kekebalan-dimediasi terkait dengan infeksi tenggorokan atau kulit dengan strain nephritogenic tertentu dari grup A streptokokus. Mekanisme yang mendasari GN proliferatif akut kekebalan-dimediasi inflamasi yang dibuktikan dengan deposito glomerulus yang mengandung kompleks imun dan komponen pelengkap dalam kebanyakan kasus. Dalam pauci-kekebalan GN bulan sabit, peran patogenetik mekanisme kekebalan tubuh ditunjukkan oleh tingginya tingkat positif untuk antibodi sitoplasmik antineutrofil[3]..
            Konstituen streptokokus atau produk yang dapat memicu proses patologis belum sepenuhnya didefinisikan. Mekanisme yang tepat mengenai kerusakan  ginjal masih kontroversial, meskipun beberapa teori telah diusulkan[4].:
1.      Terbentuknya kompleks imun (antigen-antibodi) yang melekat padamembrana basalis glomerulus dan kemudian merusaknya
2.      Mimikri molekuler antara antigen streptokokus dan ginjal (misalnya, jaringan normal glomerulus bertindak sebagai autoantigen bereaksi dengan sirkulasi antibodi terhadap antigen streptokokus yang terbentuk;
3.      Proses auto-imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak gromerulus
4.      Aktivasi langsung oleh antigen streptokokus.

Glomeruloneritis akut post streptococcus  termasuk immune complex disease, beberapa bukti bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik [1]:
1.      Adanya periode laten antara ineksi streptococcus dan klinis
2.      Kadar immunoglobulin g (IgG) menurun dalam darah
3.      Kadar komplemen C3 menurun dalam darah
4.      Adanya endapan IgG dan C3 di glomerulus
5.      Titer Anti Streptolysin –O (ASTO) meninggi dalam darah
Manifestasi klinis pada anak-anak GNAPS diringkas dan dibandingkan dengan yang terlihat pada orang dewasa pada Tabel 1[3].

                TABEL  1. Manifestasi Klinis GNAPS pada Anak dan Dewasa Tua
Simptom
Anak (%)
Dewasa tua (%)
Hematuria
100
100
Proteinuria
80
92
Edema
90
75
Hipertensi
60–80
83
Oliguria
10–50
58
Dispnea, gagal jantung
<5
43
Nefrotik proteinuria
4
20
Azotemia
25–40
83
Mortality
<1
25
From Rodriguez-Iturbe B. Acute endocapillary glomerulonephritis. In: Davison AM, Cameron JS, Grunfeld J-P, et al. Oxford textbook of clinical nephrology. Oxford, UK: Oxford University Press, 1998:613–623, with permission.
 
V, DIAGNOSIS
Diagnostik kerja meliputi identifikasi sindrom nefritik, infeksi streptokokus asenden, penanda serologi kekebalan-dimediasi peradangan, dan, bila diperlukan, histologi ginjal[3].
Analisis urin memperlihatkan kelainan, juga disebut dismorfik atau crenated, sel darah merah dan sel darah merah gips menunjukkan hematuria glomerulus. Proteinuria, biasanya moderat, mencapai kisaran nefrotik pada 5 sampai 10% pasien dengan GNAPS. Itu berlangsung selama sekitar 6 bulan. Leukosit, hialin, dan gips granular juga sering terlihat Terdapat elevasi sementara nitrogen urea darah dan kreatinin serum karena GFR menurun dengan aliran plasma ginjal yang normal atau rendah dan fraksi filtrasi menurun. Fungsi tubulus biasanya sedikit berkurang[3].
Infeksi streptokokus dikonfirmasi oleh titer antibodi terhadap peningkatan antigen dinding sel dan produk ekstraseluler dari grup A streptokokus. Dalam praktek klinis, mengulangi pengukuran antistreptolysin, anti deoxyribonuclease B, antihyaluronidase, antistreptokinase, dan anti nikotinamida adenin dinucleotidase digunakan untuk menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Antistreptolysin dan anti nikotinamida adenin dinucleotidase titer meningkat pada 80% pasien dengan nefritis postpharyngitis, sedangkan antihyaluronidase dan anti deoxyribonuclease B titer meningkat pada 80 sampai 90% pasien setelah infeksi kulit. Titer antibodi yang tinggi 1 sampai 5 minggu setelah infeksi dan kembali ke tingkat awal mereka setelah beberapa bulan. Pengobatan antibiotik mungkin mengurangi respon antibodi[3].

  PENATALAKSANAAN
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul pada hari pertama. Sesudah ase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur tetapi tidak diizinkan berkegiatan seperti sebelum sakit[1].
Penisilin harus diberikan untuk membasmi organisme. Eritromisin, klindamisin, atau generasi pertama cephalosporin dapat diberikan kepada pasien alergi terhadap penisilin. Pengobatan antibiotik mungkin tidak memiliki pengaruh di lapangan tetapi akan mencegah penyebaran strain nephritogenic. Kontak dekat dan anggota keluarga yang kultur positif untuk GAS juga harus diberikan penisilin, walaupun pengobatan antibiotik tidak selalu efektif dalam menghilangkan kasus sekunder. Episode rekuren jarang terjadi, hal ini terjadi karena adanya kekebalan terhadap strain nephritogenic tertentu sehingga antibiotik profilaksis tidak perlu.
Sindrom nefritik akut juga diterapi dengan diet garam dan asupan cairan yang dibatasi[1,3]. Ketika edema signifikan atau hipertensi terjadi maka loop diuretik, furosemid harus diberikan untuk memulai diuresis cepat dan mengoreksi overload cairan, hipertensi yang terkait volume, dan kemacetan kardiovaskular[3]. Bila terjadi edema berat, diberi makanan tanpa garam, dan bila edema ringan pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 gram/kgBB/hari. Asupan cairan perlu diuperhitungkan dengan baik terutama penderita dengan oligouria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang maswuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan= jumlah urin+incessible water loss (20-25ml/kgBB/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal mg/kgBB/hari[1].  Pada beberapa pasien, keadaan darurat dapat terjadi karena hipertensi dan agen antihipertensi diperlukan. Manajemen awal hipertensi berat termasuk calsium channel blockers (misalnya, IV nicardipine), IV labetalol atau dihydralazine diikuti dengan terapi pemeliharaan antihipertensi dengan diuretik loop, dan calsium channel bloker misalnya, nifedipin. Administrasi angiotensin-converting enzyme inhibitor tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan hiperkalemia[3]..
VI.   PENATALAKSANAAN
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul pada hari pertama. Sesudah ase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur tetapi tidak diizinkan berkegiatan seperti sebelum sakit[1].
Penisilin harus diberikan untuk membasmi organisme. Eritromisin, klindamisin, atau generasi pertama cephalosporin dapat diberikan kepada pasien alergi terhadap penisilin. Pengobatan antibiotik mungkin tidak memiliki pengaruh di lapangan tetapi akan mencegah penyebaran strain nephritogenic. Kontak dekat dan anggota keluarga yang kultur positif untuk GAS juga harus diberikan penisilin, walaupun pengobatan antibiotik tidak selalu efektif dalam menghilangkan kasus sekunder. Episode rekuren jarang terjadi, hal ini terjadi karena adanya kekebalan terhadap strain nephritogenic tertentu sehingga antibiotik profilaksis tidak perlu.
Sindrom nefritik akut juga diterapi dengan diet garam dan asupan cairan yang dibatasi[1,3]. Ketika edema signifikan atau hipertensi terjadi maka loop diuretik, furosemid harus diberikan untuk memulai diuresis cepat dan mengoreksi overload cairan, hipertensi yang terkait volume, dan kemacetan kardiovaskular[3]. Bila terjadi edema berat, diberi makanan tanpa garam, dan bila edema ringan pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 gram/kgBB/hari. Asupan cairan perlu diuperhitungkan dengan baik terutama penderita dengan oligouria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang maswuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan= jumlah urin+incessible water loss (20-25ml/kgBB/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal mg/kgBB/hari[1].  Pada beberapa pasien, keadaan darurat dapat terjadi karena hipertensi dan agen antihipertensi diperlukan. Manajemen awal hipertensi berat termasuk calsium channel blockers (misalnya, IV nicardipine), IV labetalol atau dihydralazine diikuti dengan terapi pemeliharaan antihipertensi dengan diuretik loop, dan calsium channel bloker misalnya, nifedipin. Administrasi angiotensin-converting enzyme inhibitor tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan hiperkalemia[3]..